FILSAFAT
PEMIMPIN BANGSA
Dudi Akasyah
Secara
sepintas tampaknya mudah menemukan calon-calon pemimpin bangsa di negeri ini.
Jumlah 200 juta penduduk Indonesia menunjukan probabilitas yang tingggi bahwa
Indonesia mempunyai banyak stok kader pemimpin bangsa. Akan tetapi setelah
ditelusuri dan terus menerus dicari ternyata sulit untuk menemukan sosok
tersebut. Tidak heran jika banyak orang yang tidak tahu jawabannya ketika
ditanya: “Pada masa sekarang, adakah sosok pemimpin yang ideal menurut anda?”
sulitnya mencari jawaban adalah ironi apabila dibandingkan dengan ratusan juta
jumlah penduduk Indonesia.
Kalaupun
ada sekelompok orang yang mendukung, ternyata setelah ditelisik mereka adalah
orang yang mempunyai kepentingan pribadi. Mereka mau berpanas-panasan,
berteriak, dan dukungan penuh semangat, namun ternyata motif mereka bukan
karena pemimpinnya tetapi lebih kepada uang amplop. Ada orang yang pingsan
ketika jagoannya kalah, sebab kandidatnya itu adalah rekan bisnis, keluarga, atau yang pernah memberinya
jabatan. Semakin tinggi kepentingan seseorang kepada jagoannya maka semakin
tinggi adrenalinnya dalam merespon situasi jagoan. Jika jagoannya menang maka
ia akan berpesta dan jika kalah ia syok. Situasi demikian semakin menjauhkan
nilai-nilai kepemimpinan dari anak-anak bangsa, sebab kepemimpinan bukan
berasal dari kepentingan pribadi, tetapi berlandaskan kepada suatu tekad untuk
mengayomi, peduli dan keteladanan yang melekat.
Orang
berteriak berjanji akan mengabdikan diri, memberikan yang terbaik untuk negeri,
dan mengorbankan jiwa untuk bangsa; namun naïf
ketika ia turun dari podium ia berkata kepada teman-temannya: “Itukan hanya pidato, kawan.” Banyak
rahasia di balik layar sehingga slogan hanya sebagai pemanis buatan.
Beberapa
waktu yang lalu, masyarakat disuguhi pemandangan luar biasa berupa munculnya
ratusan ribu orang yang menawarkan diri menjadi pemimpin. Spanduk, famplet,
brosur, dan stiker berderet dan bertumpuk di berbagai tempat. “Saya akan
melayani masyarakat, pilihlah saya” atau “saya akan amanah, saya siap memimpin.”
Foto-foto calon terpampang dengan bermacam-macam pose. Orang yang semula tidak
dikenal mendadak memunculkan diri dengan gambar muka menempel di berbagai
tempat. Banyak dari mereka yang mengutang spanduk ke percetakan atau berhutang
untuk biaya mengkampanyekan diri. Yang dipilih hanya 500 orang, padahal yang
mencalonkan mencapai puluhan ribu orang, yang tidak lolos banyak yang stress
dan terserang penyakit jiwa. Menelusuri apa motif mereka sehingga ingin jadi
pemimpin? Motif mendapat gaji dan keuntungan materi menjadi alasan utama.
Disamping itu, keinginan untuk dikenal, meningkatkan harkat martabat, dan harga
diri.
Apakah
calon pemimpin harus kaya? Di Indonesia banyak orang kaya, namun banyak juga
yang korupsi, monopoli, dan memperkaya diri sendiri. Sikap ini bukan sikap
pemimpin. Bagaimana bias dikatakan pemimpin, apabila ia glamor sedangkan rakyat
kecil meratapi diri yang pada akhirnya rakyat tidak akan respek lagi kepada
pemimpinnya.
Apakah
calon pemimpin harus pintar? Sudah banyak orang-orang pintar di negeri ini.
Berbagai gelar akademis sudah disandang. Namun untuk mengaplikasikan ilmu
ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Secara tori bisa saja ia
menguasai, namun dalam hal praktik ternyata teori yang dimiliki nyaris tidak
pernah muncul. Demikian pula dengan keahlian-keahlian yang lain, atau berbagai
keterampilan, hal tersebut hanya skill individu, belum dapat dikatakan akan
mampu mengemban kepemimpinan.
Akan
tetapi, factor-faktor di atas (pintar, berilmu, mempunyai kekayaan, dan kekuatan
fisik) akan sangat membantu bagi siapa saja yang mengemban kepemimpinan.
Faktor-faktor tersebut bersipat sekunder.
Ada
beberapa syarat untuk menetukan bahwa seseorang memiliki kemampuan sebagai
pemimpin:
Kedekatan (proximity).
Seseorang mempunyai jiwa pemimpin jika ia mempunyai kedekatan dengan semua
komponen masyarakat. Kedekatan tidak harus sering bertemu secara fisik
(mengantisipasi waktu sibuk), namun lebih ditekankan kepada jiwa. Dalam arti,
jiwanya dekat dengan masyarakat yang membutuhkan pertolongan dan kemampuan
menakar perasaan orang lain. Ia tidak ingin
menikmati yang lebih sebab ia merasa bahwa masih ada anggota yang sangat
membutuhkan. Kedekatan (proximity) tidaklah dibuat-buat.
Misalnya, jika sebelum terpilih ia tak mau dekat dengan masyarakat, namun
ketika ia mempunyai ambisi menjadi pemimpin mendadak ia dekat dan menunjukan
keinginan untuk membantu. Beberapa waktu setelah ia tidak mengemban amanah
lagi, maka dia pun menjauhi masyarakat dengan dalih “Saya bukan pemimpin kalian
lagi.” Kedekatan tersebut adalah kedekatan palsu. Bagi orang yang mempunyai
jiwa pemimpin, kedekatan yang dibangun sifatnya permanen dan mendarah daging.
Sikap kepemimpinannya tidak mengenal periode, dia selalu dekat dengan rakyat
baik disaat belum menjabat, sedang menjabat, atau sesudah menjabat. Kedekatan
yang instan bukan hal yang patut bagi seorang pemimpin.
Proses alamiah.
Sifat-sifat kepemimpinan terbentuk seiring dengan berjalannya kegiatan
interaksi. Semakin lama berinteraksi maka jiwa kepemimpinannya semakin
mengkristal. Banyak teman-teman yang menyukainya, ia mau berkorban, bertenggang
rasa, mau memimpin, dan mau dipimpin. Proses tersebut membutuhkan waktu yang
lama. Meskipun demikian tidak mengecewakan sebab hasilnya pun seimbang dengan
proses yang dijalani.
Berbeda
dengan “pemimpin jejadian” yang langsung muncul sebagai pemimpin kemudian
langsung tenggelam ketika masa bakti habis. Setiap orang dapat dengan mudah
menjadi “pemimpin jejadian.” Mereka dapat dengan mudah meniru kata-kata dari
televisi, dari surat kabar, atau membeli buku. Mereka juga dapat memberi
jawaban dengan jawaban yang paling bagus, sebab tidaklah sulit mencari kata
yang lebih bagus. Melalui kata-kata, orang terpengaruh untuk mengatakan bahwa
ia seorang pemimpin yang handal.
Mengayomi semua.
Hal yang patut kita hindari adalah mengangkat pemimpin yang punya musuh.
Semakin baik jiwa kepemimpinan jiwa seseorang maka sedikit antipati yang
muncul. Gontok-gontokan, panatisme terhadap golongan, atau menebarkan rasa
kebencian merupakan indikasi bahwa ia bukan seorang pemimpin.
Lingkup
interaksi sifatnya menyeluruh, dari lingkup yang paling luas sampai lingkup
yang paling kecil; atau sebaliknya dari lingkup yang paling kecil sampai
lingkup yang paling luas. Banyak terjadi seseorang menjadi pemimpin dalam
lingkup besar namun ia tidak mampu menjadi pemimpin bagi lingkungan
terdekatnya. Orang seperti itu diragukan sikap kepemimpinannya.
Pemimpin karbit
Jaman
sekarang pemimpin yang banyak muncul adalah pemimpin karbitan. Awalnya ia tidak
kenal kemudian memunculkan diri dengan menyebar spanduk, stiker, dan baliho.
Walhasil ia menjadi terkenal dan terpilih menjadi pemimpin dalam waktu singkat.
Kemudian setelah selesai masa baktinya, dia seolah-olah hilang ditelan bumi.
Masyarakat yang biasa bertemu dengannya setiap hari, kini tidak ada seorang pun
yang mengetahui keberadaannya. Pemimpin jenis ini mudah dibuat, direkayasa,
menjadi permainan, sedikit sekali member manfaat dan lebih banyak mudharat
ketimbang manfaat.
Penutup
Suatu
kesalahan jika ada orang yang hanya mau belajar tentang kepemimpinan ketika ia
telah menjadi pemimpin. Akibatnya, saat pertama kali memimpin, ia tidak tahu
apa yang harus ia lakukan, apa tanggungjawab dia, bagaimana cara mengambil
keputusan, bagaimana cara menjaga perasaan yang dia pimpin, dan bagaimana suatu
sistem dapat berjalan. Seorang pemimpin adalah ia yang sudah siap melakukan
aplikasi setelah sebelumnya dianggap sudah mampu mengikuti pembelajaran
kepemimpinan secara alamiah. Hasilnya, kepemimpinan yang diemban akan member
output yang maksimal untuk kepentingan Bangsa dan Negara secara berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar