Jumat, 01 November 2013

filsafat pemimpin bangsa


 FILSAFAT
PEMIMPIN BANGSA
Dudi Akasyah
 Secara sepintas tampaknya mudah menemukan calon-calon pemimpin bangsa di negeri ini. Jumlah 200 juta penduduk Indonesia menunjukan probabilitas yang tingggi bahwa Indonesia mempunyai banyak stok kader pemimpin bangsa. Akan tetapi setelah ditelusuri dan terus menerus dicari ternyata sulit untuk menemukan sosok tersebut. Tidak heran jika banyak orang yang tidak tahu jawabannya ketika ditanya: “Pada masa sekarang, adakah sosok pemimpin yang ideal menurut anda?” sulitnya mencari jawaban adalah ironi apabila dibandingkan dengan ratusan juta jumlah penduduk Indonesia.
Kalaupun ada sekelompok orang yang mendukung, ternyata setelah ditelisik mereka adalah orang yang mempunyai kepentingan pribadi. Mereka mau berpanas-panasan, berteriak, dan dukungan penuh semangat, namun ternyata motif mereka bukan karena pemimpinnya tetapi lebih kepada uang amplop. Ada orang yang pingsan ketika jagoannya kalah, sebab kandidatnya itu adalah rekan bisnis,   keluarga, atau yang pernah memberinya jabatan. Semakin tinggi kepentingan seseorang kepada jagoannya maka semakin tinggi adrenalinnya dalam merespon situasi jagoan. Jika jagoannya menang maka ia akan berpesta dan jika kalah ia syok. Situasi demikian semakin menjauhkan nilai-nilai kepemimpinan dari anak-anak bangsa, sebab kepemimpinan bukan berasal dari kepentingan pribadi, tetapi berlandaskan kepada suatu tekad untuk mengayomi, peduli dan keteladanan yang melekat.
Orang berteriak berjanji akan mengabdikan diri, memberikan yang terbaik untuk negeri, dan mengorbankan jiwa untuk bangsa; namun naïf ketika ia turun dari podium ia berkata kepada teman-temannya: “Itukan hanya pidato, kawan.” Banyak rahasia di balik layar sehingga slogan hanya sebagai pemanis buatan.
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat disuguhi pemandangan luar biasa berupa munculnya ratusan ribu orang yang menawarkan diri menjadi pemimpin. Spanduk, famplet, brosur, dan stiker berderet dan bertumpuk di berbagai tempat. “Saya akan melayani masyarakat, pilihlah saya” atau “saya akan amanah, saya siap memimpin.” Foto-foto calon terpampang dengan bermacam-macam pose. Orang yang semula tidak dikenal mendadak memunculkan diri dengan gambar muka menempel di berbagai tempat. Banyak dari mereka yang mengutang spanduk ke percetakan atau berhutang untuk biaya mengkampanyekan diri. Yang dipilih hanya 500 orang, padahal yang mencalonkan mencapai puluhan ribu orang, yang tidak lolos banyak yang stress dan terserang penyakit jiwa. Menelusuri apa motif mereka sehingga ingin jadi pemimpin? Motif mendapat gaji dan keuntungan materi menjadi alasan utama. Disamping itu, keinginan untuk dikenal, meningkatkan harkat martabat, dan harga diri.
Apakah calon pemimpin harus kaya? Di Indonesia banyak orang kaya, namun banyak juga yang korupsi, monopoli, dan memperkaya diri sendiri. Sikap ini bukan sikap pemimpin. Bagaimana bias dikatakan pemimpin, apabila ia glamor sedangkan rakyat kecil meratapi diri yang pada akhirnya rakyat tidak akan respek lagi kepada pemimpinnya.
Apakah calon pemimpin harus pintar? Sudah banyak orang-orang pintar di negeri ini. Berbagai gelar akademis sudah disandang. Namun untuk mengaplikasikan ilmu ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Secara tori bisa saja ia menguasai, namun dalam hal praktik ternyata teori yang dimiliki nyaris tidak pernah muncul. Demikian pula dengan keahlian-keahlian yang lain, atau berbagai keterampilan, hal tersebut hanya skill individu, belum dapat dikatakan akan mampu mengemban kepemimpinan.
Akan tetapi, factor-faktor di atas (pintar, berilmu, mempunyai kekayaan, dan kekuatan fisik) akan sangat membantu bagi siapa saja yang mengemban kepemimpinan. Faktor-faktor tersebut bersipat sekunder.
Ada beberapa syarat untuk menetukan bahwa seseorang memiliki kemampuan sebagai pemimpin:
Kedekatan (proximity). Seseorang mempunyai jiwa pemimpin jika ia mempunyai kedekatan dengan semua komponen masyarakat. Kedekatan tidak harus sering bertemu secara fisik (mengantisipasi waktu sibuk), namun lebih ditekankan kepada jiwa. Dalam arti, jiwanya dekat dengan masyarakat yang membutuhkan pertolongan dan kemampuan menakar perasaan orang lain. Ia tidak ingin   menikmati yang lebih sebab ia merasa bahwa masih ada anggota yang sangat membutuhkan. Kedekatan  (proximity) tidaklah dibuat-buat. Misalnya, jika sebelum terpilih ia tak mau dekat dengan masyarakat, namun ketika ia mempunyai ambisi menjadi pemimpin mendadak ia dekat dan menunjukan keinginan untuk membantu. Beberapa waktu setelah ia tidak mengemban amanah lagi, maka dia pun menjauhi masyarakat dengan dalih “Saya bukan pemimpin kalian lagi.” Kedekatan tersebut adalah kedekatan palsu. Bagi orang yang mempunyai jiwa pemimpin, kedekatan yang dibangun sifatnya permanen dan mendarah daging. Sikap kepemimpinannya tidak mengenal periode, dia selalu dekat dengan rakyat baik disaat belum menjabat, sedang menjabat, atau sesudah menjabat. Kedekatan yang instan bukan hal yang patut bagi seorang pemimpin.
Proses alamiah. Sifat-sifat kepemimpinan terbentuk seiring dengan berjalannya kegiatan interaksi. Semakin lama berinteraksi maka jiwa kepemimpinannya semakin mengkristal. Banyak teman-teman yang menyukainya, ia mau berkorban, bertenggang rasa, mau memimpin, dan mau dipimpin. Proses tersebut membutuhkan waktu yang lama. Meskipun demikian tidak mengecewakan sebab hasilnya pun seimbang dengan proses yang dijalani.
Berbeda dengan “pemimpin jejadian” yang langsung muncul sebagai pemimpin kemudian langsung tenggelam ketika masa bakti habis. Setiap orang dapat dengan mudah menjadi “pemimpin jejadian.” Mereka dapat dengan mudah meniru kata-kata dari televisi, dari surat kabar, atau membeli buku. Mereka juga dapat memberi jawaban dengan jawaban yang paling bagus, sebab tidaklah sulit mencari kata yang lebih bagus. Melalui kata-kata, orang terpengaruh untuk mengatakan bahwa ia seorang pemimpin yang handal.
Mengayomi semua. Hal yang patut kita hindari adalah mengangkat pemimpin yang punya musuh. Semakin baik jiwa kepemimpinan jiwa seseorang maka sedikit antipati yang muncul. Gontok-gontokan, panatisme terhadap golongan, atau menebarkan rasa kebencian merupakan indikasi bahwa ia bukan seorang pemimpin.
Lingkup interaksi sifatnya menyeluruh, dari lingkup yang paling luas sampai lingkup yang paling kecil; atau sebaliknya dari lingkup yang paling kecil sampai lingkup yang paling luas. Banyak terjadi seseorang menjadi pemimpin dalam lingkup besar namun ia tidak mampu menjadi pemimpin bagi lingkungan terdekatnya. Orang seperti itu diragukan sikap kepemimpinannya.
Pemimpin karbit
Jaman sekarang pemimpin yang banyak muncul adalah pemimpin karbitan. Awalnya ia tidak kenal kemudian memunculkan diri dengan menyebar spanduk, stiker, dan baliho. Walhasil ia menjadi terkenal dan terpilih menjadi pemimpin dalam waktu singkat. Kemudian setelah selesai masa baktinya, dia seolah-olah hilang ditelan bumi. Masyarakat yang biasa bertemu dengannya setiap hari, kini tidak ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya. Pemimpin jenis ini mudah dibuat, direkayasa, menjadi permainan, sedikit sekali member manfaat dan lebih banyak mudharat ketimbang manfaat.
Penutup
Suatu kesalahan jika ada orang yang hanya mau belajar tentang kepemimpinan ketika ia telah menjadi pemimpin. Akibatnya, saat pertama kali memimpin, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, apa tanggungjawab dia, bagaimana cara mengambil keputusan, bagaimana cara menjaga perasaan yang dia pimpin, dan bagaimana suatu sistem dapat berjalan. Seorang pemimpin adalah ia yang sudah siap melakukan aplikasi setelah sebelumnya dianggap sudah mampu mengikuti pembelajaran kepemimpinan secara alamiah. Hasilnya, kepemimpinan yang diemban akan member output yang maksimal untuk kepentingan Bangsa dan Negara secara berkelanjutan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar