Jumat, 01 November 2013

esai-esai demokrasi

ESAI-ESAI
DEMOKRASI


Dudi Akasyah, MSi.
Saya tidak membenci demokrasi hanya saja saya ingin melihat secara obyektif, adakah sisi gelap dari teori demokrasi?
Setelah menyaksikan rentetan pemilu dan pilkada, biaya trilyunan menggelontor mencetak kertas suara, pertikaian yang muncul setelah pemilu, dan fitnah-fitnah menyeruak di dalam komunitas negeri. Tidak ada salahnya jika mengkaji ulang teori-teori demokrasi.
Mukadimah
Banyak baiya yang dikeluarkan untuk melaksanakan demokrasi. Setiap pemilu milyaran (bahkan trlyun) digunakan untuk member kotak suara, surat suara, membayar gaji, honor, dan biaya demokrasi. Sedikit pun tidak dapat dinikmati oleh perut rakyat kecuali hanya pemandangan puing bekas poster dan kampanye yang berantakan.
Yang banyak mengais rezeki dari pesta demokrasi hanyalah jurkam, tukang poster, artis, dan tukang pemulung sobekan spanduk dan baliho. Rakayat kecil hanya menjadi korban dari demokrasi, adapun mereka yang ada di atas sedang sibuk menentukan nomor kursi, kampanye, bahkan berkelahi karena urusan bagi-bagi kekuasaan.
Negara-negara di Asia banyak yang menjadi korban demokrasi, seperti Pakistan, Indonesia, Srilanka, Nepal, India, dan Negara-negara lainnya. Dengan atas nama demokrasi, mereka tidak malu saling membanting bangku di gedung parlemen atau berkelahi seperti anak kecil.
Di kolong langit ini, mungkin hanya Amerika Serikat sebagai Negara satu-satunya yang bias berdemokrasi. Bisa juga hal ini merupakan firasat bahwa Negara Asia tidaklah cocok dengan iklim demokrasi, bahkan Negara-negara di benua Afrika pun tidaklah cocok dengan demokrasi.
Metode memuaskan orang banyak boleh jadi banyak caranya, adapun demokrasi, monarki, dsb merupakan metode-metode yang boleh saja digunakan. Tidak harus sama dalam menetukan metode, melainkan metode yang diselesaikan dengan kebutuhan orang banyak itulah maka metode yang efektif dapat diberlakukan.
Tesis Antitesis
Asal kata demokrasi yang berarti kedaulatan ada di tangan rakyat, didalamnya seperti terkandung supremasi rakyat, namun mengapa dalam kenyataannya menghinakan rakyat. Suara rakyat di manipulasi, rakyat dibodohi, dibohongi, dieksploitasi, dan dizalimi.
Atau muncul fakta bahwa suara rakyat dapat dibeli. Satu kepala rakyat bernilai 50 ribu agar mau mencoblos jargon yang haus kekuasaan. Apabila jumlah pemilih 50 juta orang maka cukup hanya dengan 2,5 trilyun rupiah maka yang bersangkutan akan duduk di kursi empuk kekuasaan, untuk kemudian ia mengeruk kekayaan Negara agar kembali modal, itukah yang dinamakan demokrasi?
Memang manusia perlu dikasih unjuk terlebih dahulu agar dapat menjadi penonton, untuk kemudian menjadi komentator, dan menjadi analisator untuk memilih metode mana yang cocok untuk dipakai di negeri ini.
Demokrasi dan Teori Konflik
Strategi memecahkan dua kubu biasanya dengan cara mengangkat salah satunya untuk kemudian membenturkan antara satu kubu dengan yang lainnya. Itulah teori konflik. Untuk menghancurkan sebuah perusahaan maka cukup dengan mengangkat salah unsur perusahaan kemudian membenturkan antar satu unsur dengan unsur yang lainnya.
Untuk menggoyahkan suatu Negara maka angkat salah satu unsur nagara kemudian suatu unsur dibenturkan dengan yang lainnya maka kacaulah Negara tersebut.
Akal Bulus Demokrasi
Kedaulatan ada di tangan rakyat. Hal ini menunjukan bahwa masing-masing individu mempunyai kekuatan. Seluruh rakyat mempunyai porsi yang sama menentukan kebijakan Negara. Pertanyaannya? Bagaimana jika rakyatnya gontok-gontokan. Ada yang membela kiri dan ada yang membela kanan. Ketika jawabannya tergantung kepada kaum intelektualis maka bagaimana jika para intelektualisnya terpecah dengan membawa keuntungan masing-masing.
Bagi orang-orang yang mempunyai capital yang besar maka sangat mudah menciptakan suatu Negara yang kacau dan mengkotak-kotakkan rakyat sesuai dengan yang dia kehendaki.
Demokrasi juga seringkali menjadi penggoda agar syahwat rakyat untuk menjadi penguasa semakin memuncak. 100 juta rakyat semuanya ingin menjadi presiden. Bahakan bukan tidak mungkin jika ingin mendirikan 100 negara dimana mereka menjadi presidennya. Salah satu indikator dengan menjamurnya partai sampai 100 partai, bahkan kalau tidak ada upaya untuk dibatasi mungkin bisa mencapai 1 juta partai.
Demokrasi bukanlah suatu solusi yang absolute melainkan demokrasi hanyalah sebuah metode yang boleh jadi benar, boleh jadi tidak benar; boleh jadi cocok digunakan di suatu Negara, boleh jadi tidak cocok bahkan kontraprofuktif diberlakukan di suatu Negara.
Menanamkan kebencian kepada pemerintah
Ajaran dasar demokrasi adalah menanamkan kebencian kepada pemerintah dengan cara mengangkat rakyat untuk kemudian dibenturkan dengan pemerintah. Begitulah teori itu berlanjut. Ketika sekelompok rakyat menjadi pemerintah maka mereka pun dibenturkan lagi dengan rakyat. Di satu sisi pemerintah menjadi tidak tenang dengan kudeta, di sisi lain rakyat selalu bernafsu untuk menggulingkan pemerintah, inikah demokrasi? Jika seperti ini, kenapa metode demokrasi dipertahankan?
Adalah tugas ilmuwan, pemikir, dan para bijak lesatri untuk mencari banyak metode, selain metode demokrasi. Amerika Serikat boleh jadi cocok dengan metode demokrasi, tetapi belum tentu Indonesia, Pakistan, India, Inggris, Ethiopia, Nigeria, dsb cocok dengan metode tsb.
Sebagai contoh, Inggris, Malaysia, Jerman, Jepang, dsb mereka sudah cocok dengan sistem monarki plus republiknya, Arab Saudi dan Brunai sudah cocok dengan sistem kerajaannya. Inilah tugas para cendikiawan untuk mencari metode yang cocok untuk banyak Negara di Asia atau Afrika.
Apriori Rakyat
Adapun rakyat, boro-boro mau melihat siapa yang ada di parlemen, untuk melihat kebutuhan sehari-hari pun sudah cukup menguras energi. Mereka berangkat pagi ke sawah, itupun sudah bingung memikirkan pupuk, hama, dan rendahnya angka penjualan, larut malam mereka sampai ke rumah dan langsung tidur. Kalaupunada waktu sisa berkumpul dengan keluarga. Ketika mereka ditanya tentang partai? Jawabannya masa bodoh. Ditanya siapa ketua umum partai? Mereka menjawab tidak tahu. Apalagi ketika ditanya siapa caleg.
Pelajaran Teori Demokrasi
Sekarang bangsa indonesia sedang diberi pelajaran praktik demokrasi. Pemilu yang berkali-kali dalam satu periode 5 tahun (pemilihan partai dan beberapa putaran pemilihan presiden) yang menghabiskan dana trilyunan rupiah; dilanjutkan dengan pilkada gubernur; selanjutnya dilakukan pilkada bupati; plus pilihan kepala desa. Spanduk dan kampanye datang silih berganti. Diselingi dengan saling menggugat antara yang menang dengan yang kalah. Biarkan saja bangsa ini belajar untuk mencari kesimpulan sejauhmana efektifitas demokrasi, apakah lebih banyak keuntungannya atau kerugiannya.
Efek Samping Teori Demokrasi
Ada seorang yang berlari ke sebuah gedung, membakar bendera, menggulingkan mobil pemerintah, sambil berteriak bahwa dia punya hak untuk berbuat di negeri ini atas nama demokrasi.
Dengan atas nama demokrasi juga melakukan demontrasi di tengah jalan, rakyat bebas berekspresi, padahal rakyat yang lain pun perlu bebas melakukan aktivitas. Benturan antar rakyat terjadi.
Sebuah perusahaan yang stabil bisa mendadak roboh ketika secara internal saling berbenturan antara satu dengan yang lainnya, dengan mengatasnamakan demokrasi. Pemimpin mengatakan bahwa ia punya hak untuk berpendapat, kalangan pekerja mengatakan bahwa dia juga punya hak berdemokrasi. Kacaulah perusahaan tersebut.
Terinspirasi dari demokrasi, bermunculan banyak kelompok atau organisasi dengan tujuan agar lebih kuat secara kolektif untuk melakukan kritik. Ada organisasi buruh, organisasi pengusaha, organisasi sopir, organisasi petani, organisasi perempuan, organisasi dukun, sampai organisasi narapidana, organisasi gay, organisasi hiburan malam, bahkan penulis pernah mendengar langsung rencana mendirikan pelacur. Inikah efek teori demokrasi?
Keuntungan Demokrasi: Sebuah Paradoks
Ada satu keuntungan demokrasi (meski paradoks) yaitu mampu menggulingkan penguasa yang zalim. Rejim, otoriter, dan anarkisme penguasa bisa dibabat habis oleh demokrasi. Namun, jika suatu saat muncul pemimpin adil maka demokrasi pula yang akan menggerusnya.
Rakyat dan Pemimpin
Rakyat merupakan anggota dari sebuah Negara yang memiliki hak-hak absolut sebagaimana layaknya manusia. Secara individual, rakyat dan pemimpin adalah sama, memiliki hak yang sama, kewajiban yang sama, dan problem yang tidak jauh berbeda. Standarisasi kepuasan, kebutuhan, rasa untuk dihargai, rasa untuk berkorban adalah sama, baik itu rakyat maupun pemimpin.
Ada hal-hal yang sebetulnya tidak tertulis tetapi sangat vital, yakni ketika ada kepentingan terselubung maka akan memunculkan perpecahan secara evolutif. Kepentingan itu baik muncul dari indivudual, sekelompok rakyat terhadap rakyat lain, atau pemimpin terhadap rakyat.
Sangat sensitif jika isu-isu kepentingan muncul, apalagi jika ada provokator maka akan mudah meledak dan menimbulkan konflik berkepanjangan. Bukanlah hal bijak jika ada pihak yang menghembuskan kebencian terhadap pemerintah, sama halnya bukan sikap bijak jika ada pemimpin mengambil aji mumpung dengan mengatasnamakan rakyat.
Falsafah Rakyat dan Pemimpin
Kesadaran individu sebagai manusia yang membutuhkan hak-hak pokok dan memenuhi kewajiban secara alami. Menjalani aktivitas secara normal seperti bekerja, aktualisasi diri, memperoleh rasa aman, terlindungi, dan memberi manfaat. Dalam kapasitas sebagai rakyat bersedia dan mendukung segala kebaikan baik yang dilakukan secara individual maupun komunal, demikian falsafah rakyat.
Untuk kesejahteraan yang lebih global, rakyat membutuhkan koordinator yang konsen, konsisten serta mampu menganalisa kebutuhan global, kesejahteraan, penyaluran bantuan, menolong yang kekurangan, melindungi yang tertindas, serta menjaga keamanan yang harmonisasi orang banyak, inilah falsafah pemimpin.
Negara
Rakyat merupakan unsur-unsur personal yang tergabung secara kolektif untuk kemudian membentuk sebuah Negara. Terbentuknya Negara dapat melalui kekuasaan yang turun temurun, keluarga besar, kelompok yang dominan, atau wadah bergabungnya individu menjadi kepentingan kolektif yang bernama Negara.
Negara dapat juga diperoleh dengan perebutan kekuasaan, kudeta, kesamaan visi misi, atau berasal dari kepentingan kolektif untuk melindungi atau dilindungi. Sejauhmana tingkat kerumitan birokrasi suatu Negara maka akan sangat bergantung kepada luas geografis atau banyaknya populasi.
Filosofis Pemimpin
Secara alamiah seseorang enggan menerima amanah sebagai pemimpin. Terasa ada beban menggelayuti yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang tidak menjadi pemimpin. Menerima amanah pemimpin memberi banyak konsekuensi yang akibatnya akan buruk jika yang bersangkutan bermental buruk. Pemimpin merupakan figur yang rawan fitnah. Kesalahan yang dilakukan 100 anggota tidak akan ada apa-apanya jika dibandingkan kesalahan seorang pemimpin. Mungkin seseorang dikatakan biasa melakukan kesalahan, namun bisa menjadi “tidak bisa” jika dilakukan seorang pemimpin. Inilah yang membuktikan bahwa secara alamiah seseorang akan enggan menerima amanah sebagai pemimpin.
Namun, apabila situasinya telah sakit, atau ketika jaman telah sakit, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Jabatan pemimpin seperti jabatan yang menggiurkan, semua orang ngiler melihat kursi empuk, uang milyaran berani dia gelontorkan agar ia terpilih menjadi pemimpin, kata-kata penuh hiba dan harap berbuih dikeluarkan agar dirinya terpilih menjadi pemimpin. Ketika ia menang maka kepalan euporia meninju ke atas, berdansa dan berdansa semalam suntuk. Di dalam benaknya muncul banyak akal bulus bagaimana agar dalam waktu singkat kekayaan melimpah mengisi pundi-pundi gudang kekayaannya.
Dana Kampanye: Sebuah Disorientasi
Seorang calon presiden misalnya, ia harus mengumpulkan dana kampanye sampai milyaran dollar. Dana tersebut diperuntukan untuk memperkuat pencitraan sang kandidat. Dengan lantang ia menonjolkan dirinya, kesombongan, keangkuhan, mengkritik lawan, berkata bohong, bahkan tak segan-segan untuk memfitnah lawan. Slogannya “Jangan salah pilih.”
Milyaran dollar hanya digunakan untuk beli spanduk, siaran televisi, mengundang artis-artis, dan menggaji jurkam hanya untuk membela seseorang yang ingin tampil ke muka. Syarat seorang kandidat mempunyai kekuatan berupa akumulasi meteri yang “wah” merupakan salah satu indikator bahwa start telah melenceng jauh dari tujuan semula untuk mensejahterakan rakyat, dari awal sudah tidak nyambung antara awal proses dengan tujuan akhir demokrasi.
Dana Milyaran yang sia-sia
Jika menggunakan nalar yang sehat, sepeser pun uang akan sangat berguna bagi banyak orang, terlebih yang membutuhkan. Dengan nalar sehat, seorang pemimpin harus lebih berorientasi kepada sumbangsih riil kepada rakyat. Lalu, bagaimana jika kandidat lebih suka membayar iklan milyaran rupiah, kampanye dengan pesta pora, atau atribut-atribut yang mengotori lingkungan.
Rakyat memandang bahwa terlalu banyak uang yang dikeluarkan secara sia-sia. Truk-truk pengangkut sampah spanduk menunjukan bahwa banyak sekali potensi yang dibuang dengan sia-sia. Yang menikmati hanya sedikit orang, kebanyakan orang tidak memperoleh manfaat sedikit pun
Calon Pemimpin harus Kaya
Mengingat besarnya dana kampanye maka ada sebagian pengamat yang mengatakan bahwa calon pemimpin harus kaya. Pertanyaannya? Apakah yang dimaksud kaya itu dalam artian kapital atau moral. Atau kedua-duanya. Seorang konglomerat, menurut salah seorang pengamat, tidak akan butuh uang lagi atau tidak akan mencari uang melalui jabatan, sebab ia sudah kaya. Dengan demikian, kandidat pemimpin haruslah berasal dari orang-orang kaya.
Namun, jika konglomerat itu masih merasa miskin dan serakah dengan kekayaan maka justru akan semakin membahayakan sebab ia akan mengeruk kekayaan yang menurut dia lebih besar dari kekayaan yang ada. Kesenjangan semakin tinggi antara si kaya dan si miskin. Jika demikian, kaya tidaknya seorang kandidat tidak menjadi ukuran bahwa ia tidak akan rakus dengan kekuasaan.
Rejim sebagai Pobia Demokrasi
Dalam teori demokrasi dikenal dengan ketakutan yang sangat akan munculnya otoritarianisme penguasa, kekuasaan yang kejam, penguasa tirani, atau penguasa yang menghalalkan darah pembangkang.
Demokrasi lebih menonjolkan ajaran perjuangan rakyat meraih kekuasaan ketimbang pedoman agar rakyat dan pemimpin bijak
Di dalam teorinya, demokrasi lebih mengedepankan bagaimana pentingnya menumbuhkan semangat melawan kekuasaan, menghabisi para pejabat, pejabat, menggusur, bahkan tidak segan untuk memfitnah. Demokrasi lebih melihat bahwa semua penguasa sama yakni zalim sehingga perlu direbut bersama-sama oleh rakyat.
Hanya saja demokrasi tidak mampu menjawab tentang bagaimana konsep demokrasi ketika rakyat telah berhasil merebut kekuasaan. Bahkan yang terjadi lebih parah yaitu ketika “sekelompok” rakyat telah berhasil menduduki kekuasaan maka rakyat dari “golongan” lain menggoyangkan lagi dengan mengatas-namakan demokrasi. Di sisi lain, pemimpin yang berasal dari rakyat pun bertahan dengan mengatasnamakan demokrasi.
Kita lihat negeri-negeri Asia dan Afrika mereka mengalami kekacauan yang panjang. Tidak ada satu pun dari mereka yang dapat mereguk kesejahteraan dari demokrasi. Mungkin hanya negara Amerika Serikat saja yang berhasil mewujudkan demokrasi. Jadi, apakah Negara kita harus berkiblat ke Amerika? Jawabannya, tidak juga sebab Amerika merupakan Negara yang paling banyak melanggar HAM dibandingkan Negara-negara lain. Tidak baik menjadikan Amerika sebagai berkiblat politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar