ESAI-ESAI
DEMOKRASI
Saya tidak membenci demokrasi hanya saja saya ingin
melihat secara obyektif, adakah sisi gelap dari teori demokrasi?
Setelah
menyaksikan rentetan pemilu dan pilkada, biaya trilyunan menggelontor mencetak
kertas suara, pertikaian yang muncul setelah pemilu, dan fitnah-fitnah
menyeruak di dalam komunitas negeri. Tidak ada salahnya jika mengkaji ulang
teori-teori demokrasi.
Mukadimah
Banyak
baiya yang dikeluarkan untuk melaksanakan demokrasi. Setiap pemilu milyaran
(bahkan trlyun) digunakan untuk member kotak suara, surat suara, membayar gaji,
honor, dan biaya demokrasi. Sedikit pun tidak dapat dinikmati oleh perut rakyat
kecuali hanya pemandangan puing bekas poster dan kampanye yang berantakan.
Yang
banyak mengais rezeki dari pesta demokrasi hanyalah jurkam, tukang poster,
artis, dan tukang pemulung sobekan spanduk dan baliho. Rakayat kecil hanya
menjadi korban dari demokrasi, adapun mereka yang ada di atas sedang sibuk
menentukan nomor kursi, kampanye, bahkan berkelahi karena urusan bagi-bagi
kekuasaan.
Negara-negara
di Asia banyak yang menjadi korban demokrasi, seperti Pakistan, Indonesia,
Srilanka, Nepal, India, dan Negara-negara lainnya. Dengan atas nama demokrasi,
mereka tidak malu saling membanting bangku di gedung parlemen atau berkelahi
seperti anak kecil.
Di
kolong langit ini, mungkin hanya Amerika Serikat sebagai Negara satu-satunya
yang bias berdemokrasi. Bisa juga hal ini merupakan firasat bahwa Negara Asia
tidaklah cocok dengan iklim demokrasi, bahkan Negara-negara di benua Afrika pun
tidaklah cocok dengan demokrasi.
Metode
memuaskan orang banyak boleh jadi banyak caranya, adapun demokrasi, monarki,
dsb merupakan metode-metode yang boleh saja digunakan. Tidak harus sama dalam
menetukan metode, melainkan metode yang diselesaikan dengan kebutuhan orang
banyak itulah maka metode yang efektif dapat diberlakukan.
Tesis Antitesis
Asal
kata demokrasi yang berarti kedaulatan ada di tangan rakyat, didalamnya seperti
terkandung supremasi rakyat, namun mengapa dalam kenyataannya menghinakan
rakyat. Suara rakyat di manipulasi, rakyat dibodohi, dibohongi, dieksploitasi,
dan dizalimi.
Atau
muncul fakta bahwa suara rakyat dapat dibeli. Satu kepala rakyat bernilai 50
ribu agar mau mencoblos jargon yang haus kekuasaan. Apabila jumlah pemilih 50
juta orang maka cukup hanya dengan 2,5 trilyun rupiah maka yang bersangkutan
akan duduk di kursi empuk kekuasaan, untuk kemudian ia mengeruk kekayaan Negara
agar kembali modal, itukah yang dinamakan demokrasi?
Memang
manusia perlu dikasih unjuk terlebih dahulu agar dapat menjadi penonton, untuk
kemudian menjadi komentator, dan menjadi analisator untuk memilih metode mana
yang cocok untuk dipakai di negeri ini.
Demokrasi dan Teori Konflik
Strategi
memecahkan dua kubu biasanya dengan cara mengangkat salah satunya untuk
kemudian membenturkan antara satu kubu dengan yang lainnya. Itulah teori
konflik. Untuk menghancurkan sebuah perusahaan maka cukup dengan mengangkat
salah unsur perusahaan kemudian membenturkan antar satu unsur dengan unsur yang
lainnya.
Untuk
menggoyahkan suatu Negara maka angkat salah satu unsur nagara kemudian suatu
unsur dibenturkan dengan yang lainnya maka kacaulah Negara tersebut.
Akal Bulus Demokrasi
Kedaulatan
ada di tangan rakyat. Hal ini menunjukan bahwa masing-masing individu mempunyai
kekuatan. Seluruh rakyat mempunyai porsi yang sama menentukan kebijakan Negara.
Pertanyaannya? Bagaimana jika rakyatnya gontok-gontokan. Ada yang membela kiri
dan ada yang membela kanan. Ketika jawabannya tergantung kepada kaum
intelektualis maka bagaimana jika para intelektualisnya terpecah dengan membawa
keuntungan masing-masing.
Bagi
orang-orang yang mempunyai capital yang besar maka sangat mudah menciptakan
suatu Negara yang kacau dan mengkotak-kotakkan rakyat sesuai dengan yang dia
kehendaki.
Demokrasi
juga seringkali menjadi penggoda agar syahwat rakyat untuk menjadi penguasa
semakin memuncak. 100 juta rakyat semuanya ingin menjadi presiden. Bahakan
bukan tidak mungkin jika ingin mendirikan 100 negara dimana mereka menjadi
presidennya. Salah satu indikator dengan menjamurnya partai sampai 100 partai,
bahkan kalau tidak ada upaya untuk dibatasi mungkin bisa mencapai 1 juta
partai.
Demokrasi
bukanlah suatu solusi yang absolute melainkan demokrasi hanyalah sebuah metode
yang boleh jadi benar, boleh jadi tidak benar; boleh jadi cocok digunakan di
suatu Negara, boleh jadi tidak cocok bahkan kontraprofuktif diberlakukan di
suatu Negara.
Menanamkan kebencian kepada pemerintah
Ajaran
dasar demokrasi adalah menanamkan kebencian kepada pemerintah dengan cara
mengangkat rakyat untuk kemudian dibenturkan dengan pemerintah. Begitulah teori
itu berlanjut. Ketika sekelompok rakyat menjadi pemerintah maka mereka pun
dibenturkan lagi dengan rakyat. Di satu sisi pemerintah menjadi tidak tenang
dengan kudeta, di sisi lain rakyat selalu bernafsu untuk menggulingkan
pemerintah, inikah demokrasi? Jika seperti ini, kenapa metode demokrasi
dipertahankan?
Adalah
tugas ilmuwan, pemikir, dan para bijak lesatri untuk mencari banyak metode,
selain metode demokrasi. Amerika Serikat boleh jadi cocok dengan metode
demokrasi, tetapi belum tentu Indonesia, Pakistan, India, Inggris, Ethiopia,
Nigeria, dsb cocok dengan metode tsb.
Sebagai
contoh, Inggris, Malaysia, Jerman, Jepang, dsb mereka sudah cocok dengan sistem
monarki plus republiknya, Arab Saudi dan Brunai sudah cocok dengan sistem
kerajaannya. Inilah tugas para cendikiawan untuk mencari metode yang cocok
untuk banyak Negara di Asia atau Afrika.
Apriori Rakyat
Adapun
rakyat, boro-boro mau melihat siapa yang ada di parlemen, untuk melihat
kebutuhan sehari-hari pun sudah cukup menguras energi. Mereka berangkat pagi ke
sawah, itupun sudah bingung memikirkan pupuk, hama, dan rendahnya angka
penjualan, larut malam mereka sampai ke rumah dan langsung tidur. Kalaupunada
waktu sisa berkumpul dengan keluarga. Ketika mereka ditanya tentang partai?
Jawabannya masa bodoh. Ditanya siapa ketua umum partai? Mereka menjawab tidak
tahu. Apalagi ketika ditanya siapa caleg.
Pelajaran Teori Demokrasi
Sekarang
bangsa indonesia sedang diberi pelajaran praktik demokrasi. Pemilu yang
berkali-kali dalam satu periode 5 tahun (pemilihan partai dan beberapa putaran
pemilihan presiden) yang menghabiskan dana trilyunan rupiah; dilanjutkan dengan
pilkada gubernur; selanjutnya dilakukan pilkada bupati; plus pilihan kepala
desa. Spanduk dan kampanye datang silih berganti. Diselingi dengan saling
menggugat antara yang menang dengan yang kalah. Biarkan saja bangsa ini belajar
untuk mencari kesimpulan sejauhmana efektifitas demokrasi, apakah lebih banyak
keuntungannya atau kerugiannya.
Efek Samping Teori Demokrasi
Ada
seorang yang berlari ke sebuah gedung, membakar bendera, menggulingkan mobil
pemerintah, sambil berteriak bahwa dia punya hak untuk berbuat di negeri ini
atas nama demokrasi.
Dengan
atas nama demokrasi juga melakukan demontrasi di tengah jalan, rakyat bebas
berekspresi, padahal rakyat yang lain pun perlu bebas melakukan aktivitas.
Benturan antar rakyat terjadi.
Sebuah
perusahaan yang stabil bisa mendadak roboh ketika secara internal saling
berbenturan antara satu dengan yang lainnya, dengan mengatasnamakan demokrasi.
Pemimpin mengatakan bahwa ia punya hak untuk berpendapat, kalangan pekerja
mengatakan bahwa dia juga punya hak berdemokrasi. Kacaulah perusahaan tersebut.
Terinspirasi
dari demokrasi, bermunculan banyak kelompok atau organisasi dengan tujuan agar
lebih kuat secara kolektif untuk melakukan kritik. Ada organisasi buruh,
organisasi pengusaha, organisasi sopir, organisasi petani, organisasi
perempuan, organisasi dukun, sampai organisasi narapidana, organisasi gay,
organisasi hiburan malam, bahkan penulis pernah mendengar langsung rencana
mendirikan pelacur. Inikah efek teori demokrasi?
Keuntungan Demokrasi: Sebuah Paradoks
Ada
satu keuntungan demokrasi (meski paradoks) yaitu mampu menggulingkan penguasa
yang zalim. Rejim, otoriter, dan anarkisme penguasa bisa dibabat habis oleh
demokrasi. Namun, jika suatu saat muncul pemimpin adil maka demokrasi pula yang
akan menggerusnya.
Rakyat dan Pemimpin
Rakyat
merupakan anggota dari sebuah Negara yang memiliki hak-hak absolut sebagaimana
layaknya manusia. Secara individual, rakyat dan pemimpin adalah sama, memiliki
hak yang sama, kewajiban yang sama, dan problem yang tidak jauh berbeda.
Standarisasi kepuasan, kebutuhan, rasa untuk dihargai, rasa untuk berkorban
adalah sama, baik itu rakyat maupun pemimpin.
Ada
hal-hal yang sebetulnya tidak tertulis tetapi sangat vital, yakni ketika ada
kepentingan terselubung maka akan memunculkan perpecahan secara evolutif.
Kepentingan itu baik muncul dari indivudual, sekelompok rakyat terhadap rakyat
lain, atau pemimpin terhadap rakyat.
Sangat
sensitif jika isu-isu kepentingan muncul, apalagi jika ada provokator maka akan
mudah meledak dan menimbulkan konflik berkepanjangan. Bukanlah hal bijak jika
ada pihak yang menghembuskan kebencian terhadap pemerintah, sama halnya bukan
sikap bijak jika ada pemimpin mengambil aji
mumpung dengan mengatasnamakan rakyat.
Falsafah Rakyat dan Pemimpin
Kesadaran
individu sebagai manusia yang membutuhkan hak-hak pokok dan memenuhi kewajiban
secara alami. Menjalani aktivitas secara normal seperti bekerja, aktualisasi
diri, memperoleh rasa aman, terlindungi, dan memberi manfaat. Dalam kapasitas
sebagai rakyat bersedia dan mendukung segala kebaikan baik yang dilakukan
secara individual maupun komunal, demikian falsafah rakyat.
Untuk
kesejahteraan yang lebih global, rakyat membutuhkan koordinator yang konsen,
konsisten serta mampu menganalisa kebutuhan global, kesejahteraan, penyaluran
bantuan, menolong yang kekurangan, melindungi yang tertindas, serta menjaga keamanan
yang harmonisasi orang banyak, inilah falsafah pemimpin.
Negara
Rakyat
merupakan unsur-unsur personal yang tergabung secara kolektif untuk kemudian
membentuk sebuah Negara. Terbentuknya Negara dapat melalui kekuasaan yang turun
temurun, keluarga besar, kelompok yang dominan, atau wadah bergabungnya
individu menjadi kepentingan kolektif yang bernama Negara.
Negara
dapat juga diperoleh dengan perebutan kekuasaan, kudeta, kesamaan visi misi,
atau berasal dari kepentingan kolektif untuk melindungi atau dilindungi.
Sejauhmana tingkat kerumitan birokrasi suatu Negara maka akan sangat bergantung
kepada luas geografis atau banyaknya populasi.
Filosofis Pemimpin
Secara
alamiah seseorang enggan menerima amanah sebagai pemimpin. Terasa ada beban
menggelayuti yang tidak dirasakan oleh orang-orang yang tidak menjadi pemimpin.
Menerima amanah pemimpin memberi banyak konsekuensi yang akibatnya akan buruk
jika yang bersangkutan bermental buruk. Pemimpin merupakan figur yang rawan
fitnah. Kesalahan yang dilakukan 100 anggota tidak akan ada apa-apanya jika
dibandingkan kesalahan seorang pemimpin. Mungkin seseorang dikatakan biasa
melakukan kesalahan, namun bisa menjadi “tidak bisa” jika dilakukan seorang
pemimpin. Inilah yang membuktikan bahwa secara alamiah seseorang akan enggan
menerima amanah sebagai pemimpin.
Namun,
apabila situasinya telah sakit, atau ketika jaman telah sakit, maka yang
terjadi adalah sebaliknya. Jabatan pemimpin seperti jabatan yang menggiurkan,
semua orang ngiler melihat kursi empuk, uang milyaran berani dia gelontorkan
agar ia terpilih menjadi pemimpin, kata-kata penuh hiba dan harap berbuih
dikeluarkan agar dirinya terpilih menjadi pemimpin. Ketika ia menang maka
kepalan euporia meninju ke atas, berdansa dan berdansa semalam suntuk. Di dalam
benaknya muncul banyak akal bulus bagaimana agar dalam waktu singkat kekayaan
melimpah mengisi pundi-pundi gudang kekayaannya.
Dana Kampanye: Sebuah Disorientasi
Seorang
calon presiden misalnya, ia harus mengumpulkan dana kampanye sampai milyaran
dollar. Dana tersebut diperuntukan untuk memperkuat pencitraan sang kandidat.
Dengan lantang ia menonjolkan dirinya, kesombongan, keangkuhan, mengkritik
lawan, berkata bohong, bahkan tak segan-segan untuk memfitnah lawan. Slogannya
“Jangan salah pilih.”
Milyaran
dollar hanya digunakan untuk beli spanduk, siaran televisi, mengundang
artis-artis, dan menggaji jurkam hanya untuk membela seseorang yang ingin
tampil ke muka. Syarat seorang kandidat mempunyai kekuatan berupa akumulasi
meteri yang “wah” merupakan salah satu indikator bahwa start telah melenceng
jauh dari tujuan semula untuk mensejahterakan rakyat, dari awal sudah tidak
nyambung antara awal proses dengan tujuan akhir demokrasi.
Dana Milyaran yang sia-sia
Jika
menggunakan nalar yang sehat, sepeser pun uang akan sangat berguna bagi banyak
orang, terlebih yang membutuhkan. Dengan nalar sehat, seorang pemimpin harus
lebih berorientasi kepada sumbangsih riil kepada rakyat. Lalu, bagaimana jika
kandidat lebih suka membayar iklan milyaran rupiah, kampanye dengan pesta pora,
atau atribut-atribut yang mengotori lingkungan.
Rakyat
memandang bahwa terlalu banyak uang yang dikeluarkan secara sia-sia. Truk-truk
pengangkut sampah spanduk menunjukan bahwa banyak sekali potensi yang dibuang
dengan sia-sia. Yang menikmati hanya sedikit orang, kebanyakan orang tidak
memperoleh manfaat sedikit pun
Calon Pemimpin harus Kaya
Mengingat
besarnya dana kampanye maka ada sebagian pengamat yang mengatakan bahwa calon
pemimpin harus kaya. Pertanyaannya? Apakah yang dimaksud kaya itu dalam artian
kapital atau moral. Atau kedua-duanya. Seorang konglomerat, menurut salah
seorang pengamat, tidak akan butuh uang lagi atau tidak akan mencari uang
melalui jabatan, sebab ia sudah kaya. Dengan demikian, kandidat pemimpin
haruslah berasal dari orang-orang kaya.
Namun,
jika konglomerat itu masih merasa miskin dan serakah dengan kekayaan maka
justru akan semakin membahayakan sebab ia akan mengeruk kekayaan yang menurut
dia lebih besar dari kekayaan yang ada. Kesenjangan semakin tinggi antara si
kaya dan si miskin. Jika demikian, kaya tidaknya seorang kandidat tidak menjadi
ukuran bahwa ia tidak akan rakus dengan kekuasaan.
Rejim sebagai Pobia Demokrasi
Dalam
teori demokrasi dikenal dengan ketakutan yang sangat akan munculnya
otoritarianisme penguasa, kekuasaan yang kejam, penguasa tirani, atau penguasa
yang menghalalkan darah pembangkang.
Demokrasi lebih menonjolkan ajaran perjuangan rakyat
meraih kekuasaan ketimbang pedoman agar rakyat dan pemimpin bijak
Di
dalam teorinya, demokrasi lebih mengedepankan bagaimana pentingnya menumbuhkan
semangat melawan kekuasaan, menghabisi para pejabat, pejabat, menggusur, bahkan
tidak segan untuk memfitnah. Demokrasi lebih melihat bahwa semua penguasa sama
yakni zalim sehingga perlu direbut bersama-sama oleh rakyat.
Hanya
saja demokrasi tidak mampu menjawab tentang bagaimana konsep demokrasi ketika
rakyat telah berhasil merebut kekuasaan. Bahkan yang terjadi lebih parah yaitu
ketika “sekelompok” rakyat telah berhasil menduduki kekuasaan maka rakyat dari
“golongan” lain menggoyangkan lagi dengan mengatas-namakan demokrasi. Di sisi
lain, pemimpin yang berasal dari rakyat pun bertahan dengan mengatasnamakan
demokrasi.
Kita
lihat negeri-negeri Asia dan Afrika mereka mengalami kekacauan yang panjang.
Tidak ada satu pun dari mereka yang dapat mereguk kesejahteraan dari demokrasi.
Mungkin hanya negara Amerika Serikat saja yang berhasil mewujudkan demokrasi.
Jadi, apakah Negara kita harus berkiblat ke Amerika? Jawabannya, tidak juga
sebab Amerika merupakan Negara yang paling banyak melanggar HAM dibandingkan
Negara-negara lain. Tidak baik menjadikan Amerika sebagai berkiblat politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar