MEMBANGUN MASYARAKAT
DI KELURAHAN KELAPA GADING BARAT
Oleh: Dudi Akasyah, MSi.
Tinggal di Vila Gading Indah
Potensi dan Problema
Kita berada di lingkungan Kelurahan
Kelapa Gading Barat yang melingkupi 21 RW, masyarakatnya berasal dari berbagai kalangan,
profesi, dan status sosial. Bangunan yang dihuni terdiri dari perumahan elit,
apartemen, rukan, komplek perumahan, dan rumah sederhana.
Meskipun tampaknya anggota masyarakat
berserak namun pada saat-saat tertentu mereka membutuhkan solidaritas, kebersamaan,
dan membangun persaudaraan.
Keseimbangan, itulah yang dibutuhkan.
Ada saatnya sibuk mengurus kepentingan pribadi, ada saatnya peduli terhadap
kepentingan masyarakat sekitar.
Yang muncul sekarang ini adalah
kesibukan mengurus pribadi sehingga memunculkan kesan individualistik. Adapun
dari sisi mengurus kepentingan masyarakat masih belum terwujud. Alasannya dapat
berupa kesibukan, saling mengandalkan antar satu dengan yang lain, ataupun
tidak adanya kepentingan untuk hal tersebut. Hal tersebut berakibat terhadap
minimnya kegiatan kemaslahatan masyarakat sekitar yang dipelopori oleh anggota
masyarakat yang bersangkutan.
Di sisi lain, aparat pemerintahan
lebih disibukkan dengan mengurus hal-hal yang bersifat administratif semata
sehingga program pemberdayaan warga seringkali luput dari perhatian. Hal-hal
yang demikian, sepatutnya untuk dicermati agar perkembangan masyarakat menjadi
semakin dinamis, masyarakat memiliki kebanggaan terhadap nilai-nilai
persaudaraan, kebersamaan, dan kepedulian antar satu individu dengan individu
yang lainnya. Percayalah, apabila kebersamaan antar komponen masyarakat
tercapai maka hasil positif akan berlimpah.
Masyarakat merupakan investasi
manakala diberdayakan dengan optimal. Lagi-lagi kita membutuhkan tekad yang
kuat (political will) untuk melakukan
perbaikan. Paling tidak, bermula dari merintis, mempertahankan, dan terus
menerus memberi kontribusi.
Rasanya tidak lengkap kalau di
lingkungan kita tidak ada kegiatan yang bermanfaat. Setiap individu ketika
berkumpul maka akan memunculkan berbagai kesempatan untuk berinteraksi,
silaturahmi, dan menjalin kerjasama untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Sebagai makhluk sosial maka selalu
muncul keinginan untuk saling mengenal, menjalin persaudaraan, dan mewujudkan
berbagai kebaikan besar yang ditopang oleh potensi insani.
Rutinitas yang muncul dari motif
mencukupi kebutuhan pribadi merupakan hal yang sah-sah saja sebab waktu
dipergunakan agar bagaimana individu dapat mempertahankan hidup. Namun, di sisi
lain menyisihkan waktu, pikiran, atau potensi untuk kebaikan masyarakat
merupakan hal yang perlu dilakukan agar optimalisasi fitrah sebagai makhluk
sosial dapat tercapai. Dalam arti, keterikatan sosial, munculnya solidaritas,
kebersamaan dalam mewujudkan kekuatan; dapat kita capai melalui kepedulian
terhadap tetangga atau masyarakat yang paling dekat dengan kehidupan kita.
Berbicara kontribusi masyarakat
adalah berbicara untuk jangka panjang, membutuhkan kontinuitas dalam menata dan
membangun kesadaran, serta dorongan internal yang terus menerus dari para
pelopor, yakni individu yang mempunyai keinginan sebagai kontributor.
Dimaklumi bahwa masyarakat kota
identik dengan individualistik, waktu full
time dengan alasan profesionalisme, tugas-tugas kemasyarakatan cukup dengan
rekrutmen security, dan mencukupkan diri dengan memposisikan sebagai konseptor
belaka tanpa mampu membumikan konsep tersebut dalam aplikasi nyata terhadap
masyarakat terdekat.
Kita khan masyarakat kota bukan desa? Demikian alasan yang sering
dikemukakan. Padahal, jika alasannya demikian, orang desa pun akan mengatakan
hal yang sama: kami tidak bisa, karena kami masyarakat desa bukan kota. Di kota
hal itu bisa, tetapi di desa tidak mungkin terwujud.” Lalu sampai kapan akan
muncul kesadaran: “Ini tanggung jawab kami, maka kami harus bergerak mulai saat
ini.”
Hal ini merupakan catatan tentang
diri kita, bagaimana memulai untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat.
Jangan berharap di tempat lain dapat memberi manfaat, jikalau kita belum
memulainya sekarang. Kehidupan bermasyarakat merupakan pengalaman yang kemudian
memunculkan pengetahuan yang sangat berguna dan applicable.
Namun, di sisi lain individu harus
memiliki pengalaman dalam bermasyarakat. Mengapa individu harus memulai
bermasyarakat dari semenjak dini? Sebab untuk menggali pengalaman terlebih
dahulu. Seseorang yang baru terjun ke masyarakat maka ia akan kikuk dan gugup jika menghadapi kisruh
atau riak-riak di masyarakat. Berbeda jika ia telah memiliki pengalaman maka ia
telah mumpuni di dalam memberi manfaat untuk orang banyak.
Tumbuhnya teknologi acap kali
memberikan situasi instan dimana seseorang dapat eksis di depan meja, di
hadapan internet, atau media sejenisnya. Di satu sisi hal itu dapat diterima,
namun di sisi lain ilmu rekayasa tersebut belumlah cukup untuk melengkapi
keutuhan manusia. Pertemuan fisik, mewujudkan silaturahmi, saling memberi
manfaat dan mewujudkan solidaritas, merupakan hal utama yang mengutuhkan diri
sebagai manusia.
Penulis kira permasalahan yang
dihadapi merupakan permasalahan umum yang seringkali dijumpai di masyarakat
manapun juga. Namun, jangan pula pesimistik sebab jika problema terus ditelisik
disertai dengan keuletan maka problem tersebut akan mampu ditemukan solusinya,
serta yang jauh lebih penting adalah pelaksanaan dari solusi tersebut di
lapangan sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
Catatan ini hanya sebatas
kontemplasi, perenungan. Besar harapan, bermula dari perenungan ini, kita
memperoleh pendorong untuk melakukan aksi.
Agent of Social Change
Kita memerlukan individu-individu
sebagai agent of social change (agen
sosial) yang memiliki keinginan untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat
ke arah yang lebih baik.
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu
dimulai dari kesadaran diri kita, konsistensi, kontinyuitas, serta dukungan
dari berbagai pihak; dari masyarakat, pemerintahan, tokoh masyarakat, dan
seluruh komponen yang berada di lingkungan Kelapa Gading Barat.
Medio, Nopember 2011